Senin, 11 Oktober 2010

Sejarah ARSITEKTUR

Arsitektur lahir dari dinamika antara kebutuhan (kebutuhan kondisi lingkungan yang kondusif, keamanan, dan sebagainya), dan cara (bahan bangunan yang tersedia dan teknologi konstruktif). Arsitek prasejarah dan primitif merupakan tahap awal dinamika ini. Kemudian, manusia menjadi lebih maju dan pengetahuan mulai terbentuk melalui tradisi lisan dan praktik-praktik, arsitektur berkembang menjadi keterampilan. Pada tahap inilah terjadi proses uji coba, improvisasi, atau peniruan sehingga hasilnya sukses. Seorang arsitek saat itu bukanlah seorang figure penting, melainkan ia hanya semata-mata melanjutkan tradisi. Arsitektur vernacular lahir dari pendekaan yang demikian dan hingga kini masih di lakukan di banhak dunia.


Seperti yang kamu ketahui, pemukiman manusia pada masa pada dasarnya bersifat rural. Kemudian, timbulah surplus produksi sehingga masyarakat rural berkembang menjadi masyarakat urban. Kompleksitas bangunan dan tipologinya pun meningkat. Teknologi pembangunan fasilitas umum seperti jalan dan jembatan pun berkembang. Tipologi bangunan baru seperti sekolah, rumah sakit dan saran rekreasi pun bermunculan. Arsitektur religius tetap menjadi bagian penting di dalam masyarakat. Gaya-gaya arsitektur berkembang dan karya tulis mengenai arsitektur mulai bermunculan. Karya-karya tulis tersebut menjadi kumpulan aturan untuk diikuti khususnya dalam pembangunan arsitektur religius. Contoh aturan ini antara lain karya-karya tulis oleh Vitruvius atau vaastu shastra dari india purba. Pada periode klasik dan abad pertengahan eropa, bangunan bukanlah hasil karya-karya arsitek individual,tetapi asosiasi profesi (guild) di bentuk oleh para artisan atau ahli keterampilan bangunan untuk mengorganisasi proyek.


Pada abad pencerahan humaniora dan penekanan terhadap individual menjadi lebih penting daripada agama dan menjadi awal yangbaru dalam arsitektur. Pembangunan di tugaskan kepada arsitek-arsitek individual Michaelangelo, Brunelleschi Leonardi da Vinci dan kultus individu pun di mulai. Namun, pada saat itu belum ada pembagian tugas yang jelas antara seniman, arsitek maupun insinyur, atau bidang-bidang kerja lain yang berhubungan. Paa tahap ini, seorang seniman pun dapat merancang jembatan karena perhitungan struktur di dalamnya masih bersifat umum.


Bersamaan dengan penggabungan pengetahuan dari berbagai bidang ilmu (misalnya, engineering), an munculnya bahan-bahan bangunan baru serta teknologi, seorang arsitek menggeser fokusnya dari aspek tknis bangunan menjadi estetika. Kemudian bermunculanlah “arsitek priyayi” yg biasanya berurusan dengan bouwhere (klien) kaya dan berkonsentrasi pada unsure visual dalam bentuk yang merujuk pada contoh-contoh historis. Pada abad ke-19, Ecole des Beaux Art di prancis melatih calon-calon arsitek menciptakan sketsa-sketsa dan gambar cantik tanpa menekankan konteksnya.


Sementara itu, revolusi industry membuka pintu untuk konsumsi umum sehingga estetika menjadi ukuran yanag dapat di capai bahkan oleh kelas menengah. Dahulunya produk-produk berornamen estetis terbatas dalam lingkup keterampilan yang mahal, lalu menjadi terjangkau melalui produk massal. Produk-produk yang demikian tidaklah memiliki keindahan dan kejujuran dalam ekspresi dari sebuah proses produksi.


Ketidakpuasan terhadap situasi demikian pada awal abad ke-20 melahirkan pemikiran-pemikiran yang mendasari arsitektur modern, antara lain Deutscher Werkbun (dibnetuk 1907) yang memproduksi objek-objek buatan mesin dengan kualitas yang lebih baik. Ini merupakan titk lahirnya profesi dalam bidang desain industry, setelah itu, sekolah Bauhaus (di bentuk di Jerman tahun 1919) menolak masa lalu sejarah dan memilih melihat arsitektur sebagai sintesis seni, keterampilan dan teknologi.


Ketika arsitektu modern di praktikan, ia adalah sebuah pergerakan garda depan dengan dasar moral, filosofis, dan estetis. Kebenaran di cari dengan menolak sejarah dan menoleh kepada fungsi yang menghasilkan bentuk. Arsitek lantas menjadi figur penting dan di juluki sebagai “master”. kemudain, arsitektur modern masuk ke dalam lingkup produksi missal karena kesederhanaanya dan faktor ekonomi.


Namun, masyarakat umum merasakan adanya penurunan mutu dalam arsitektur modern pada tahun 1960-an, antara lain karena kekurangan makna, kemandulan, keburukan, keseragaman, serta dampak-dampak psikologisnya. Sebagian arsitek menjawabnya melalui arsitek postmodern dengan usaha membentuk arsitektur yang dapat di terima umum pada tingkat visual, meskipun dengan mengorbankan kedalamanya. Robert Venturi berpendapat bahwa “gubuk berhisa (decorated shed)” (bangunan biasa yang interiornya di rancang secara fungsional sementara eksteriornya di beri hiasan) adalah lebih baik daripada sebuah “bebek(duck)” (bangunan yang baik bentuk dan fungsinya menjadi satu). Pendapat Venturi ini menjadi dasar pendekatan arsitektur postmodern.


Sebagai arsitek lain (dan juga non arsitek) menjawab dengan menunjukan apa yang mereka piker sebagai akar masalahnya. Mereka merasa bahwa arsitektur bukanlah perburuan filosofis atau estetis pribadi oleh perorangan, melainkan arsitektur haruslah mempertimbangkan kebutuhan manusia sehari-hari dan menggunakan teknologai untuk mencapai lingkungan yang dapat ditempati. Desain Methodology Movement yang melibatkan orang-orang seperti Chris Jones atau Christoper Alexander mulai mencari proses yang lebih inklusif dalam perancangan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Penelitian mendalam dalam berbagai bidang seperti perilaku, lingkugan, dan humaniora dilakukan untuk menjadi dasar proses perancangan.


Bersamaan dengan meningkatnya kompleksitas bangunan, arsitektur menjadi lebih multi-disiplin daripada sebelumnya. Arsitektur sekarang ini lebih membutuhkan sekumpulan professional dalam pengerjaannya. Inilah keadaan profesi arsitek sekarang ini. Meskipun demikian, arsitek individu masih disukai dan dicari dalam perancangan bangunan yang bermakna simbol budaya. Contohnya, sebuah museum seni rupa menjadi lahan eksperimentasi gaya dekontruktivitis sekarang ini, tetapi esok hari mungkin sesuatu yang lain.


Walaupun telah menjadi professional, keahlian arsitek hanya digunakan dalam pembangunan tipe bangunan yang rumit atau bangunan yang memiliki makna budaya atau politis yang penting. Peran arsitek tidak pernah berubah, tidak pernah menjadi yang utama, dan tidak pernah berdiri sendiri. Selalu aka nada dialog antara masyarakat dengan arsitek. Hasil dari sebuah dialog dapat di juluki pula sebagai arsitektur, sebagai sebuah produk dan sebuah di siplin ilmu.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Fungsi rumah dalam status soisial masyarakat


Rumah pada hakekatnya merupakan kebutuhan dasar (basic needs) manusia selain sandang dan pangan, juga pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu maka dalam upaya penyediaan perumahan lengkap dengan sarana dan prasarana permukimannya, semestinya tidak sekedar untuk mencapai target secara kuantitatif (baca: banyaknya rumah yang tersedia), semata-mata, melainkan harus dibarengi pula dengan pencapaian sasaran secara kualitatif (baca: mutu dan kualitas rumah sebagai hunian), karena berkaitan langsung dengan harkat dan martabat manusia selaku pemakai. Artinya bahwa pemenuhan kebutuhan akan perumahan dan permukiman yang layak, akan dapat meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan di dalam masyarakat Indonesia perumahan merupakan pencerminan dan pengejawatahan dari diri pribadi manusia, baik secara perorangan maupun dalam satu kesatuan dan kebersamaan dalam lingkungan alamnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia merupakan insan sosial sekaligus sebagai insan ekonomi. Sebagai 'insan sosial', manusia memandang rumah dalam fungsinya sebagai pemenuhan kebutuhan sosial budayanya dalam masyarakat. Sedangkan sebagai 'insan ekonomi' fungsi rumah dipandang sebagai investasi jangka panjang yang akan meperkokoh jaminan kehidupan dan penghidupannya dimasa mendatang.
Terdapatnya berbagai permasalahan dibidang perumahan dan pemukiman di Indonesia antara lain disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang cukup pesat, dimana perkembangannya cenderung lebih cepat dari pada kemampuan penyediaan kebutuhan perumahan beserta sarana dan prasarananya yang cukup memadai. Belum lagi termasuk perbaikan perumahan dan lingkungan kumuh yang banyak tersebar diwilayah perkotaan, terutama di kota-kota besar. Apabila tidak segera ditangani secara terencana dan terpadu, maka masalah tersebut akan terus berlanjut dan meningkat seirama dengan pertumbuhan penduduk, dinamika kependudukan, serta oleh berbagai tuntutan ekonomi, sosial budaya, yang senantiasa berkembang.
Mengingat arti pentingnya penyediaan perumahan dan permukiman yang layak bagi masyarakat, maka masalah tersebut perlu ditangani secara mendasar dan seksama. Hal tersebut menyangkut berbagai aspek kehidupan dan harkat hidup manusia yang secara langsung turut mempengaruhinya.
Salah satu aspek yang cukup berpengaruh pada penyediaan perumahan dan permukiman yang lebih bersifat internal adalah aspek sosial - budaya masyarakat. Dengan adanya kemajuan teknologi dan proses modernisasi, serta peningkatan kesejahteraan, maka sikap dan pandangan seseorang terhadap rumahnya akan berubah pula. Rumah memang tidak sekedar sebagai tempat berteduh dan melindungi diri penghuninya dari kondisi alam dan bahaya dari luar, namun sudah berkembang sebagai sarana yang dapat menunjukan jati diri dan pribadi penghuninya.
Di dalam masyarakat Indonesia, ada ungkapan bahwa 'rumah' merupakan kulit ketiga dari manusia, dimana yang menjadi kulit kedua adalah pakaian/busana, sedangkan kulit pertama adalah kulit tubuh manusia itu sendiri. Ungkapan lain menyebutkan bahwa 'rumahmu adalah wajahmu dan jiwamu'. Bahkan Y.B. Mangunwijaya, yakni salah seorang arsitek, budayawan sekaligus Romo melalui bukunya yang berjudul: 'Vastu Citra', menulis bahwa ternyata bangunan punya citra sendiri-sendiri dalam perwatakan mental dan jiwa seperti apa yang dimiliki oleh pembuatnya. Semakin kita berkembang dalam pembangunan, maka semakin mendesak pula kita harus memperhatikan segi citra itu. Demikian juga halnya dalam dunia seni pembangunan rumah, jangan sampai bangsa kita dicap punya keaslian dan keterampilan juga punya duit dan sarana, tetapi jiwanya 'kosong dan ngawur'. Itu tampak dari penampilannya, dari citranya. Sebab 'citra' penting dalam tata pergaulan, baik secara pribadi maupun secara nasional dalam tata pergaulan antar bangsa. Demikian sebagian ungkapan dari Romo Mangunwijaya
Dewasa ini motivasi penyediaan rumah oleh sebagian masyarakat 'papan atas' (baca: Orang kaya/mampu) dikota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya serta kota besar lainnya, yang membangun kawasan pemukiman elit dan cenderung mengisolasi diri dari lingkungan permukiman masyarakat umum (baca: Rakyat banyak). Sebagai penyebab munculnya fenomena tersebut, telah disimak oleh Mary Gail Snyder melalui bukunya yang berjudul 'Fortress America' terhadap pola permukiman berbenteng menyerupai klan-klan pada abad pertengahan di Amerika.
Adapun motivasinya, adalah antara lain 'Aspek Prestise', yang menganggap sebagai media 'Image' (baca: Citra) untuk menaikan status sosialnya. Yang kedua adalah menyangkut 'Aspek Komoditi' dimana nilai ekonomi menjadi dasar pertimbangan sekaligus menjadikannya sebagai barang investasi. Selanjutnya ada juga yang menganggapnya sebagai 'Aspek keterpaksaan', yakni untuk meningkatkan rasa aman terhadap kerawanan kriminalitas yang akhir-akhir ini marak terjadi di kota-kota besar termasuk di Indonesia. Sedangkan dipihak lain dibalik tembok kemegahan permukiman elit tersebut, disana masih bertebaran kantong-kantong permukiman kumuh bagaikan bercak-bercak yang bertebaran tidak teratur dan semrawut, yang pada umumnya merupakan 'milik tidak sah' (baca: Permukiman Liar) dari kelompok masyarakat 'papan bawah' (baca: kelompok masyarakat miskin di kota) yang cenderung tersingkirkan. Bagi mereka, untuk memiliki rumah yang legal dan layak di kota adalah merupakan suatu perjuangan amat berat atau bahkan mungkin tidak pernah terpikirkan oleh mereka sama sekali.
Untuk menyikapi hal tersebut diatas, maka salah satu cara yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah menyediakan perumahan yang layak bagi mereka berdasarkan Inpres No. 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Permukiman Kumuh diatas Tanah Negara serta berbagai peraturan perundang-undangan Ikutan lainnya yang bersifat lebih teknis. Itu semua dilakukan oleh pemerintah dalam kerangka proses pemberdayaan masyarakat miskin (baca: berpenghasilan rendah) di perkotaan. Dan dalam konteks tersebut, jadilah rumah dipandang sebagai alat atau media untuk pemberdayaan masyarakat (Housing as Instrument For Human Development).
Dari fenomena tersebut diatas semakin memperjelas bahwa ' Citra rumah' dapat merefleksikan kepribadian dari penghuninya. Dalam hal ini, tuntutan masyarakat akan terus berkembang sesuai dengan tuntutan pribadi seseorang untuk memasyarakatkan dirinya di dalam lingkungannya. Tentu saja masing-masing dapat menentukan citra dan seleranya sendiri-sendiri dengan tuntutan yang berbeda-beda. Hal tersebut karena dilandasi oleh strata-strata kebudayaan (baca: tingkatan status sosial) yang ada di dalam masyarakat sangat bervariasi dan majemuk. Dengan kata lain bahwa faktor citra dan selera akan selalu berubah dengan kemajuan dan perkembangan jaman (trend), yang ditandai dengan kecenderungan perubahan pola perumahan sesuai dengan selera dan gaya hidup masyarakat pada suatu masa tertentu.