Jumat, 15 April 2011

Rumah Tipe "21" Bob Sadino

Bob Sadino di ruang tengah dengan tiang berhiaskan cultured stone dari California

”Rumah saya ini tipe 21. Tanahnya 2 hektar rumahnya 1, ha-ha-ha...,” canda Bob Sadino, pemilik toko serba ada Kem Chicks itu.

"Selamat datang di rumah ini. Sebenarnya saya tidak suka membuka rumah terlalu lebar bagi orang lain karena rumah adalah sebuah kawasan yang sangat pribadi,” begitu sapa Bob Sadino saat Kompas memasuki rumahnya di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, yang berhalaman sangat luas. Tapak rumahnya berukuran 1.500 meter persegi.

Tetap dengan mengenakan celana pendek yang sudah menjadi ciri khasnya, Bob bercerita tentang segala sisi rumahnya. Satu hal yang pasti, rumah Bob yang terkesan sangat mewah itu sesungguhnya justru bisa menjadi sangat sederhana kalau kita bisa memahami pikiran pemiliknya.

Bagi Bob, luas tanah 2 hektar itu bukanlah kemewahan karena dia tidak mendewakan ukuran, melainkan semata memanfaatkan yang ada. ”Dulu tanah ini adalah kebun saya untuk mencari nafkah lewat agrobisnis. Manakala usaha saya berkembang dan tanah ini lalu menjadi di tengah kota, kemudian saya menanam di berbagai tempat di Jateng dan Jatim. Tanah ini kan nganggur. Ya saya manfaatkan jadi rumah,” kata Bob.

Mengapa tidak dijual saja?

”Mengapa harus dijual?” tanya Bob menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.

Tapi, mengapa rumah harus seluas 1.500 meter persegi?

”Begini. Kebanyakan orang telah punya mindset bahwa kalau rumahnya besar, itu kemewahan. Tunggu dulu. Bagi saya, ukuran bukan yang utama. Saya cuma ingin rumah yang tidak sempit untuk segala aktivitas saya dan keluarga dan kerabat. Jadi, ya saya bangun dengan ukuran ini,” katanya.

Kemudian Bob membawa Kompas berkeliling. Kesimpulan pertama yang dirasa adalah rumah itu sungguh-sungguh sangat pribadi bagi Bob. Hampir 80 persen barang di dalamnya khas Bob Sadino. Mebel-mebel, misalnya. Sebagian besar bukanlah mebel mewah yang dibeli di toko, melainkan dari aneka kayu yang didapat Bob di sana-sini.

”Lihat bangku ini. Dari kayu yang sebagian dimakan rayap. Malah artistik kan?” tanya Bob seakan ingin diiyakan.

Bob juga memamerkan sepotong panel di atas piano. Panel itu terbuat dari kayu yang sama sekali tidak diserut. ”Bagi saya, keindahan kayu justru muncul kalau dia tampil apa adanya,” katanya.

Batu California
Mau tahu, dari mana Bob mendapatkan ribuan potong batu yang seakan batu bata bekas penghias bagian dalam ruang tengahnya? dari California, Amerika Serikat! Berton-ton batu itu diangkut tidak dengan kapal laut, tetapi dengan pesawat udara. Tentu saja biayanya sangatlah mahal.

”Saya datangkan batu-batu yang seakan bata bekas, padahal ini batu yang sengaja dibuat seperti ini dan disebut cultured stone, dengan pesawat terbang karena saya ingin cepat sampai,” kata Bob sambil menambahkan bahwa dia langsung jatuh cinta saat melihat contoh batu itu dalam sebuah kunjungannya ke AS sekitar 20 tahun lalu.

Bagi Bob, mahalnya biaya pengiriman batu itu adalah risiko akan keinginannya. Sekali lagi, ia membantah bahwa itu kemewahan karena memang penampilannya tidak mewah. ”Tapi saya sangat suka,” paparnya.

Masih ada yang lebih luar biasa pada rumah yang dihuni sejak sekitar 10 tahun lalu itu. Tapak rumah yang 1.500 meter persegi sepenuhnya dibungkus dengan ubin kemerahan yang didatangkan dari Italia.

”Ubin ini juga tidak mewah penampilannya kan? Dari tanah liat dan tidak mengilap. Tapi saya sangat suka. Saya beli bukan karena mengejar kemewahan, tapi karena saya suka. Kalau ongkosnya jadi mahal, itu adalah risiko.”

Kemudian, saat menjelajahi halaman rumahnya, kembali terasa bahwa halaman seluas sekitar 20.000 meter persegi itu sangat bersahaja. Tak ada kolam renang ukuran olimpiade yang seakan jadi simbol rumah orang kaya. Tanaman-tanaman yang ada pun tampak ditata tangan amatir, bukan penata taman yang biasanya bertarif mahal.

”Semua tanaman saya pilih sendiri. Dan, penempatan tanaman juga semata selera saya,” kata Bob yang tinggal di rumah itu cuma dengan istrinya, Soelami, serta 20 pekerja rumah tangga. Kedua anak perempuannya, Mira dan Shanti, sudah menikah dan tinggal di tempat lain.

Dua puluh pekerja rumah tangga apakah tidak terlalu banyak?

”Ha-ha-ha..., sekali lagi, itu mindset orang bahwa kalau pembantunya banyak itu kemewahan. Bagi saya, ini kebutuhan. Dua puluh pembantu kadang bahkan sangat kurang. Kala musim kemarau, semua tanaman di rumah ini tidak boleh mati. Maka, ke-20 pembantu saya bisa kewalahan menyiraminya,” papar Bob.

Misteri Angka 2121
Rumah Bob ditandai dengan pintu gerbang besi dengan angka 2121. Selain tipe rumahnya yang tipe 21, juga nomor rumah yang 2121, masih banyak 2121 lain di dalam rumah Bob Sadino. Semua mobilnya memakai pelat nomor 2121.

Mengapa 2121? Apa makna angka itu?

”Untuk kesekian kalinya, saya ingin membalik mindset orang. Apakah kalau orang memakai sebuah angka berkali-kali artinya angka itu harus punya makna?” tanya Bob.

Bagi Bob, ia hanya suka angka 2121 itu tanpa mau tahu apa maknanya dan tanpa harus ada penjelasan mengapa angka itu yang dipakainya.

”Sekadar suka, tanpa alasan apa pun, apakah tidak boleh?” tanyanya jenaka.

Tapi, bagaimana pula awalnya memakai angka itu?

”Ha-ha-ha-ha, sudah saya katakan, saya kalau suka pada sesuatu ya suka saja. Tapi, angka itu kalau dibaca dalam bahasa Inggris kan berbunyi ’tuan-tuan’ (two one two one), bukannya nyonya-nyonya kan?” papar Bob lagi.

Kemudian Bob juga bercerita tentang banyak hal pribadi, termasuk kesukaannya memakai celana pendek. Pada tahun 1980-an, Bob tetap memakai celana pendek saat menerima kunjungan Presiden Soeharto ke kebunnya, yang sekarang menjadi rumahnya itu.

”Bagi saya, pakaian adalah kepribadian. Soal tudingan bahwa celana pendek simbol tidak menghargai orang lain, itu sekali lagi hanyalah mindset orang kebanyakan. Saya pernah diusir dari Gedung DPR karena semata mengenakan celana pendek. Saya dituntut memakai celana panjang kalau mau masuk ke gedung rakyat itu. Oke, saya mau bertanya. Lebih baik mana, celana pendek tapi dibeli dengan uang sendiri atau celana panjang tetapi dibayar dengan uang rakyat? Ha-ha-ha-ha,” kata Bob mengakhiri pembicaraannya dengan Kompas pagi itu.

Rumah Biasa yang Tak Biasa

Yoris Sebastian, GM Hard Rock Cafe

Bentuk rumah boleh biasa-biasa saja, tetapi yang penting, lokasinya harus istimewa. Begitulah kira-kira filosofi Yoris Sebastian (38) saat mencari tempat tinggal ideal. 

Pertama kali mengetahui rumah konsultan kreatif ini berada di Jalan Cikatomas, Jakarta Selatan, sempat tebersit pikiran ini pasti rumah kuno peninggalan orangtua. Maklum, Jalan Cikatomas terletak di jantung kawasan elite Kebayoran Baru yang rata-rata ditinggali oleh para OKL alias ”orang kaya lama”.

Anak-anak muda sukses seusia Yoris biasanya memilih membeli rumah di kawasan permukiman yang terletak lebih ke pinggir Jakarta, seperti di Kemang, Pejaten, Cipete, atau bahkan Bintaro.

Namun, ternyata dugaan awal tadi salah. Dan itu wajar karena memang bukan Yoris Sang ”Creative Junkie” kalau sekadar meniru langkah orang lain. ”Saya memang sengaja membeli rumah di sini karena lokasinya. Ke mana-mana dekat,” ungkap Yoris di rumahnya, hari Selasa (1/6/2010).

Yang dimaksud dekat ke mana-mana menurut Yoris ini adalah ke pusat-pusat aktivitas urban Jakarta yang membutuhkan jasa pemikiran kreatif bujangan kelahiran Ujung Pandang (sekarang Makassar), 5 Agustus 1972, ini.

Kawasan-kawasan utama, seperti Senayan, Blok M, Semanggi, Jalan Jenderal Soedirman, dan Jalan Jenderal Gatot Soebroto, bisa diibaratkan hanya ”sepelemparan batu” dari rumah Yoris. Jaraknya tak lebih dari 2 kilometer.

Kantor perusahaan yang didirikan Yoris, OMG Creative Consulting, di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, pun hanya berjarak sekitar 3,5 kilometer. Dengan kondisi jalanan Jakarta yang makin tidak manusiawi, digerogoti kemacetan dan transportasi publik yang masih jauh dari ideal, keputusan Yoris untuk membeli rumah di Jalan Cikatomas adalah pilihan tepat.

Tentu saja, ada keistimewaan ada harga. Yoris membeli rumah seluas 200 meter persegi itu tahun 2002 dengan harga sekitar Rp 1 miliar. Saat itu, dengan harga yang sama, seorang temannya bisa membeli rumah dengan luas dua kali lipat di kawasan Cipete.

”Sekilas memang mahal, tetapi sekarang nilai rumah saya sudah naik berkali-kali lipat juga dibandingkan dengan rumah teman di Cipete itu. Ditambah dia juga lebih stres kalau berangkat ke kantor karena lebih macet, he-he-he,” papar Yoris, yang sampai sekarang masih mencicil rumah pertamanya tersebut.

Minimalis

Dari luar, rumah Yoris itu terlihat sangat biasa. Berarsitektur layaknya rumah yang dibangun era 1960-1970-an, bercat putih, dengan pintu dan jendela persegi sederhana.

Yoris mengaku memang tidak banyak mengubah bentuk asli rumah tersebut. Bahkan eternit rumah masih asli. ”Saya cuma mengecat ulang pintu, jendela, dan kusen saja. Dulunya warna coklat tua, saya ubah jadi seperti sekarang ini. Jadi saya menggabungkan konsep minimalis dan preservasi sekaligus,” ungkapnya.

Dengan mengecat ulang pintu dan tembok dengan warna terang, rumah tua tersebut seperti menjadi muda kembali. ”Saya hanya mengganti pintu belakang dengan pintu geser, dan mengganti gorden lama dengan folding blinds. Ternyata efeknya besar, rumah ini jadi tidak kelihatan kuno lagi,” tutur Yoris yang mengaku langsung jatuh cinta dengan rumah itu sejak pertama kali memasukinya.

Langkah selanjutnya tinggal menata interior. Dengan ukuran rumah yang terbatas, Yoris sengaja menggunakan konsep minimalis fungsional di dalam rumah untuk memberi kesan lapang. Di bagian paling depan tidak terlihat set meja kursi tamu seperti rumah pada umumnya. Sebagai gantinya, ia hanya menempatkan dua meja kaca bundar untuk menaruh hiasan dengan bola karet raksasa di tengahnya.

Satu sofa besar menjadi satu-satunya tempat duduk di bagian belakang ruangan berbentuk L itu, yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga, ruang ngobrol, serta ruang menonton televisi dan main game.

Makna

Sebidang panel kayu besar dipasang di dinding, dan di panel itu dicantelkan televisi plasma berukuran 50 inci. Di bawah TV terdapat satu set bufet rendah memanjang.

Di situ Yoris meletakkan berbagai pernik suvenir, buku-buku, perangkat audio, DVD, dan dua konsol game, yakni Nintendo Wii dan Xbox 360. Urusan main game ini memang penting bagi Yoris karena selain dua konsol itu, ia masih punya satu set Playstation 2 yang ditaruh di kamar tidur.

”Kita tetap harus main mainan anak kecil, seperti games ini, untuk membuat pikiran selalu terbuka dan kreatif,” tutur Yoris sambil memperagakan bermain Nintendo Wii dengan batang kontrol nirkabel.

Ruangan duduk serbaguna itu kemudian menyambung dengan ruang makan, yang juga ditata minimalis, dengan sebuah meja makan panjang terbuat dari kaca. Selain difungsikan untuk makan, inilah meja kerja Yoris sehari-hari. ”Saya paling nyaman mengetik atau mengonsep sebuah gagasan kreatif di meja makan ini,” kata dia.

Di dinding di belakang meja makan itu ia memasang foto enam tokoh dunia yang, menurut Yoris, menjadi simbol kreativitas tiada henti, antara lain pendiri dan pemilik Apple Computer, Steve Jobs; tokoh animasi dunia Walt Disney; penyanyi Madonna; pengusaha Donald Trump; dan pemilik kelompok usaha Virgin, Richard Branson.

Terakhir, Yoris banyak memberikan sentuhan warna hijau muda dan putih di dalam ruangan rumahnya itu. ”Saya suka dua warna itu karena ada maknanya. Putih melambangkan kreativitas. Sementara hijau melambangkan kesegaran, sesuatu yang terus bertumbuh,” ucapnya.

Dan rumah yang terlihat biasa dari luar itu pun menjadi luar biasa di dalamnya.

Kamis, 14 April 2011

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tata ruang, arsitektur, dan maknanya


Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah salah satu aset kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Keraton yang berlokasi di hutan Garjitawati, desa Beringin dan Pacetokan, ini mulai dibangun pada tahun 1755, dan terus berlanjut hampir 40 tahun kemudian, selama masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I. Di sinilah pusat perkembangan kebudayaan, khususnya kebudayaan Jawa.

Luas Keraton mencapai kurang lebih 14.000 m2, dan terdiri dari 7 bagian. Mengapa 7? Ada satu asumsi peninggalan agama Hindu, bahwa angka 7 merupakan angka yang sempurna. Hal ini juga sesuai dengan prinsip kosmologi Jawa, bahwa dunia terdiri dari 3 lapisan, yaitu dunia atas, tempat bersemayamnya para dewa dan supreme being; dunia tengah, tempat manusia; dan dunia bawah, tempat dimana kekuatan-kekuatan jahat bersemayam. Dunia atas dan bawah masing-masing terdiri dari 3 bagian, sehingga lapisan dunia ini pun menjadi 7 lapisan.

Ketujuh bagian (seven steps to heaven) Keraton adalah: Lingkungan I : Alun-alun Utara sampai Siti Hinggil Utara Lingkungan II : Keben atau Kemandungan Utara Lingkungan III : Srimanganti Lingkungan IV : Pusat Keraton Lingkungan V : Kemagangan Lingkungan VI : Kemagangan Kidul (Kemagangan Selatan) Lingkungan VII : Alun-alun Selatan sampai Siti Hinggil Selatan

Sembilan Gerbang = Sembilan Lubang di Tubuh Manusia

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki 9 buah gerbang/ pintu masuk, yang masing-masing menghubungkan 9 pelataran yang ada di wilayah Keraton. Sembilan gerbang itu sendiri melambangkan 9 buah lubang di tubuh manusia. Jika seseorang mampu menutup seluruh lubang yang ada di tubuhnya, maka ia dianggap telah mencapai tingkat meditasi tertinggi.

Kesembilan gerbang itu adalah: 1. Gerbang Pangarukan 2. Gerbang Tarub Hagung 3. Gerbang Brajanala 4. Gerbang Srimanganti 5. Gerbang Danapratapa 6. Gerbang Kemagangan 7. Gerbang Gadung Mlati 8. Gerbang Kemandungan 9. Gerbang Plengkung Gading

Pola Konsentris Tata Ruang dan Makna Arsitektur Keraton

Kalau kita potret seluruh kompleks Keraton Yogyakarta, maka akan jelas terlihat bahwa semua bagian di dalamnya membentuk suatu pola/tatanan yang konsentris. Dalam tatanan ini kedudukan titik pusat sangat dominan, sebagai penjaga kestabilan keseluruhan tatanan.

Pada keraton-keraton Dinasti Mataram, keberadaan pusat ini diwujudkan dalam bentuk Bangsal Purbayeksa/ Prabuyasa, yang berfungsi sebagai persemayaman pusat kerajaan dan tempat tinggal resmi raja. Bangsal ini dikelilingi oleh pelataran Kedaton, kemudian berturut-turut adalah pelataran Kemagangan, Kemandungan, Siti Hinggil, dan Alun-Alun pada lingkup terluar.

Lapisan Terluar

Pada lapisan ini terdapat Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Di Alun-alun Utara terdapat Masjid Agung, Pekapalan, Pagelaran, dan Pasar, yang seluruhnya membentuk Catur Gatara Tunggal. Sedangkan di Alun-alun Selatan, terdapat sebuah Kandang Gajah.

Satu ciri utama dari Alun-alun adalah, adanya dua buah pohon beringin bernama “Wok”, yang berarti gadis. Di tengah Alun-alun juga ada dua pohon beringin, yang ditutupi oleh dinding. Kedua pohon ini dinamakan “Supit-urang” (Supit artinya khitanan). Supit-urang itu melambangkan bagian yang paling rahasia dari tubuh manusia. Itulah kenapa kedua pohon itu ditutupi oleh dinding.

Alun-alun dibatasi oleh pohon Pakel dan Kuweni (keduanya adalah jenis mangga). Dalam bahasa Jawa, Pakel sama artinya dengan akil-balik, yang melambangkan kedewasaan. Dan Kuweni diambil dari kata ‘wani’ yang berarti berani.

Lapisan Kedua

Pada lapisan ini terdapat Siti Hinggil Utara dan Siti Hinggil Selatan. Dalam bahasa krama hinggil, kata “siti” berarti tanah, dan “hinggil” berarti tinggi. Jadi secara harafiah Siti Hinggil artinya adalah tanah tinggi. Tapi maksud sebenarnya adalah lokas dan posisi bangsal dengan lingkungannya lebih tinggi dari bangsal-bangsal yang ada di sekitarnya.

Di Siti Hinggil Utara terdapat antara lain, Bangsal Witana dan Bangsal Manguntur, yang digunakan sultan untuk upacara kenegaraan. Sedangkan di Siti Hinggil Selatan, kita akan menemukan sebuah “bangsal” (ruangan terbuka), yang dipergunakan untuk kepentingan sultan yang sifatnya lebih privat, seperti menyaksikan latihan keprajuritan, sampai adu macan dengan manusia (rampogan) atau banteng. Di tengah-tengah bangsal tersebut terdapat “gilang” (semacam pendopo), yang digunakan sebagai singgasana sultan. Siti Hinggil dikelilingi oleh pohon gayam, melambangkan anak muda yang sedang jatuh cinta, merasa aman, dan bahagia. Sementara bagian halamannya ditanami pohon mangga dan soka, yang memiliki bunga sangat indah, dan melambangkan asal-usul manusia.

Siti Hinggil dikelilingi oleh jalan yang disebut “Pamengkang” (melambangkan kedua kaki manusia). Pamengkang berasal dari kata “mekangkang”, yang berarti posisi kaki kita ketika direntangkan melebar.

Lapisan Ketiga

Pada lapisan ini terdapat Pelataran Kemandungan Utara dan Pelataran Kemandungan Selatan, yang merupakan ruang transisi menuju pusat. Kemandungan itu sendiri berasal dari kata “ngandung” yang berarti kehamilan.

Pada Pelataran Kemandungan Utara kita akan menemukan salah satunya adalah Bangsal Pancaniti, dan di Pelataran Kemandungan Selatan terdapat Bangsal Kemandungan. Secara harafiah, Bangsal Pancaniti berarti memeriksa lima. Di sinilah Sultan melakukan pengadilan. Bangsal ini juga digunakan oleh sebagian Abdi Dalem menunggu untuk menghadap Sultan.

Pada dinding sebelah kanan dan kiri Kemandungan ada dua buah pintu yang membawa kita menuju lorong keluar. Keduanya melambangkan pengaruh negatif yang dapat membahayakan seorang anak.

Bagian halaman Kemandungan ditanami oleh pohon Kepel, Cengkirgading, Pelem, dan Jambu Dersana. Pemilihan jenis pohon ini juga bukan tanpa makna. Kepel berasal dari kata berbahasa Jawa, “kempel” yang berarti bersatu. Cengkirgading adalah jenis kelapa yang paling indah, kecil, dan berwarna kuning. Ia digunakan untuk upacara “nujuh bulan” (sebuah upacara ketika seorang anak menginjak usia 7 bulan). Pelem berasal dari kata “gelem”, berarti saling pengertian. Sedangkan jambu Dersana berasal dari kata “darsana” yang berarti hal terbaik dari seorang manusia.

Lapisan Keempat

Di sebelah utara, kita akan menemukan Pelataran Srimanganti, tempat Sultan sering menerima tamu yang tidak terlalu formal dan semi formal. Di wilayah ini terdapat antara lain Bangsal Trajumas di sisi utara, dan Bangsal Srimanganti di sisi selatan, yang berfungsi sebagai ruang tunggu untuk menghadap raja. Untuk masuk ke Pelataran Srimanganti, kita harus terlebih dulu melewati Gerbang Srimanganti.

Di sebelah selatan lapisan ini terdapat Pelataran Kemagangan. Kemagangan berasal dari kata berbahasa Jawa, “magang”, yang berarti kedatangan. Kalau kita berjalan dari arah selatan (Alun-alun Selatan), maka untuk masuk ke dalam Pelataran Kemagangan ini kita harus melewati Gerbang Gadung Mlati. Arti kata Gadung Mlati itu sendiri adalah bayi akan dilahirkan. Makanan untuk bayi itu pun sudah disiapkan. Hal ini disimbolkan dengan keberadaan dapur Gebulen dan Sekullanggen, di sisi kiri dan kanan pelataran.

Pusat Konsentrik

Pusat konsentrik dari tata ruang keraton adalah Pelataran Kedaton yang merupakan tempat paling dalam dan keramat. Pelataran Kedaton merepresentasikan gunung keramat, tempat bersemayamnya para dewa. Di pusatnya terdapat rumah segala pusaka milik Keraton, Prabayeksa, dan Bangsal Kencana, tempat dimana Sultan bertahta dan memerintah sepanjang tahun. Di tempat ini Sultan menerima tamu paling penting setara Residen dan Gubernur.

Di komplek ini jugalah Sultan dan keluarganya tinggal. Tempat tinggal Sultan kita kenal dengan nama Gedong Jene, terletak di sebelah utara Kedaton.

Kedaton itu sendiri merupakan simbol kedewasaan pikiran dan jiwa seorang manusia. Bila kita selalu bersikap baik dan melayani, berpikiran dan berhati baik, kita akan memperoleh segala sesuatu sesuai dengan apa yang kita harapkan sesuai dengan cita-cita dan ambisi kita. Itulah makna Kedaton.

Indonesia Tidak Miliki Arsitektur


Akibat terdiri dari beragam suku dengan budaya yang berbeda-beda, hingga kini Indonesia belum memiliki satu karya arsitektur— sebagai salah satu produk budaya—yang disepakati secara nasional sebagai ciri bangsa. Kendalanya karena faktor yang menjadi acuannya kontradiktif.

Adhi Moersid, pakar arsitektur dari Ikatan Arsitek Indonesia, melontarkan masalah itu dalam diskusi bertema ”Crossing Bridges: The Work of the Architect in Contemporary Multicultural Society” di Institut Kebudayaan Italia di Jakarta, Selasa (2/3) malam. Tampil dalam acara itu Marco Kusumawijaya dari Institut Kesenian Jakarta dan arsitek dari Italia, Avio Mattiozzi, yang mempresentasikan karya arsitek kenamaan Paolo Portoghesi berupa masjid di Roma.

Dalam penciptaan karya arsitektur, ujar Adhi, seorang arsitek bukan sekadar mengacu pada kondisi geografis dan lingkungan setempat, tetapi juga berdasarkan akar budaya, adat istiadat, bahkan religi yang dianut masyarakatnya. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya menetapkan arsitektur sebagai ciri khas bangsa Indonesia yang diakui dalam skala nasional.

Sebaliknya, produk arsitektur yang mengacu pada kondisi lingkungan Indonesia yang beriklim tropis basah tidak menjadi masalah atau bisa diterima umum.

Dua pendekatan
Menurut Adhi, dalam menciptakan desain arsitektur untuk sebuah bangunan, setidaknya perlu berpegang pada dua pendekatan. Pertama, yaitu becermin pada khazanah ilmu arsitektur yang sudah dimiliki. Selain itu, arsitek perlu menimba makna falsafah, adat istiadat, dan komponen arsitektur tradisional yang dianut pengguna bangunan.

Ia mengambil contoh proses perancangan arsitektur yang dilakukannya untuk sebuah Gereja Huria Kristen Batak Protestan di Tebet. Dalam pencarian bentuk arsitektur bagi gereja itu, komunitas gereja diikutsertakan. Selain itu, bentuk rumah adat Batak juga menjadi acuannya, ”Yang menjadi titik tolak dan ciri khas gereja ini adalah atap dan ekspose strukturnya yang jelas,” ujar Adhi.

Selain membangun gereja, dengan pendekatan yang sama, Adhi juga membangun masjid. Salah satu arsitektur masjid karyanya pada 1972 memenangi Aga Khan Award.

Globalisasi arsitektur
Sementara itu, menurut Marco, dalam era globalisasi ini seorang arsitek hendaknya dapat memasukkan nilai universal dan menyatukan banyak kultur dalam karyanya, termasuk arsitektur lokal.

Dalam kenyataannya, arsitek di Indonesia dalam penciptaan karyanya banyak terpengaruh pada unsur asing. Hal ini tidak terhindarkan.

Fenomena yang sama juga terjadi di negara lain. Portoghesi dalam penciptaan masjid di pusat kota Roma yang merupakan pusat agama Katolik ,menurut Avio, juga memasukkan banyak unsur arsitektur asing di samping lokal.

Portoghesi, dosen di Universitas Roma, memenangi sayembara arsitektur masjid di Roma pada tahun 1974. Selama empat tahun ia mempelajari arsitektur masjid di Sudan, Turki, Mesir, dan Tunisia.

Konsep masjid yang diambilnya, antara lain pencahayaan alami, lengkungan saling silang, dan pilar-pilar yang menggambarkan hutan Magribi. Selain itu, juga digunakan lingkaran konsentris yang menggambarkan kosmologi tujuh langit.

Unsur lokal
Selain memadukan konsep masjid dari sejumlah negara, Portoghesi juga memasukkan unsur arsitektur Italia atau Roma.

”Yang membedakan Masjid Roma dengan mesjid umumnya di negara Arab adalah fungsi menara. Menara digunakan untuk mengumandangkan azan. Namun, di Masjid Roma, menara merupakan kelengkapan bangunan tersebut. Untuk mengetahui waktu shalat penduduk cukup melihatnya di papan pengumuman atau melalui akses di internet,” ujar Avio.

Modifikasi ini, menurut Adhi, dimungkinkan sebagai upaya adaptasi dengan tradisi masyarakat setempat.  Hal inilah yang membuat keberadaan Masjid Roma diterima dalam komunitas masyarakat Roma yang mayoritas beragama Katolik.

Pembangunan masjid tanpa menara, lanjut Adhi, juga dimungkinkan dengan melihat sejarah keberadaan menara itu pada masa lalu. Karena itu, larangan pembangunan menara di Swiss tidak akan menghalangi pembangunan masjid sendiri.

Inilah Tujuh "Kesaktian" Cuka


Selain untuk menambah rasa asam dan menghilangkan bau amis, cuka juga punya manfaat lain. Cuka atau asam asetat ini dapat mengatasi berbagai masalah kebersihan rumah. Mulai dari shower mampet, lantai kusam, hingga membersihkan kerak botol. Cara menggunakannya pun sangat mudah. Inilah tujuh manfaat cuka yang dapat diaplikasikan di rumah :

1. Shower Mampet
Air yang mengandung besi, tanah, atau pasir halus bisa menjadi biang keladinya. Untuk mengatasinya, siapkan 1 liter air panas, kemudian tuangkan satu cangkir cuka makan dan aduk. Rendam kepala shower dalam larutan tadi selama 10 menit. Angkat, lalu bersihkan. Teratasi sudah masalah shower mampet.

2. Blender Kotor
Penggunaan blender biasanya meninggalkan noda. Terkadang noda tersebut sulit dihilangkan. Jika itu terjadi, gunakan campuran air, sabun cuci piring, dan cuka. Tuang campuran itu ke dalam blender dan nyalakan blender selama 30 detik. Buang campuran air tadi dan bilas dengan air hangat.

3. Lantai Kusam
Lantai keramik yang berusia lebih dari lima tahun biasanya berubah menjadi kotor dan kusam. Untuk membersihkannya, tuangkan cuka ke permukaan lantai. Diamkan selama lima menit. Kemudian bersihkan dengan kain pel hingga bersih. Pel sekali lagi dengan air untuk menghilangkan bau cuka.

4. Karat pada Logam
Untuk menghilangkan karat, siapkan satu sendok makan cuka dicampur satu sendok teh garam. Gosokkan campuran tersebut ke bagian perkakas logam yang berkarat. Setelah karat hilang, bersihkan dengan air dan keringkan.

5. Guci Pecah
Guci pecah pun bukan lagi masalah. Buat campuran dari satu bungkus agar-agar, satu sendok cuka, aduk hingga mengental. Gunakan campuran adonan tadi sebagai lem. Rekatkan setiap bagian pecahan guci. Setelah itu jemur hingga adonan lem kering. Guci pun kembali utuh.

6. Sisa Minyak
Agar noda minyak di panci gampang dibersihkan, tuangkan cuka ke dalam 2 liter air. Celupkan panci berminyak ke dalamnya. Noda minyak akan luntur dan setelah itu bilas panci dengan air bersih.

7. Kerak Botol
Kerak pada botol bisa dibereskan dengan cuka. Masukkan air sabun ke dalam botol. Tambahkan satu sendok makan abu gosok dan satu sendok makan cuka. Biarkan selama 10 menit. Kemudian kocok-kocok dan sikat bagian dalam botol. Kerak dalam botol pun hilang.

MASJID AL-IRSYAD MINIATUR KA’BAH BERDINIDING KALIGRAFI


Masjid Al Irsyad di Kota Baru Parahyangan karya arsitek Ridwan D Kamil

Di kota mandiri Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Bandung, ada sebuah masjid kebanggaan. Masjid Al-Irsyad namanya, karya arsitek kenamaan Ridwan Kamil.

Masjid Al-Irsyad mulai dibangun pada 7 September 2009 dan diresmikan pada bulan Agustus 2010. Masjid ini merupakan karya arsitek Ridwan Kamil, terinspirasi oleh Kabah di Masjidil Haram, Mekkah. Kalau Anda perhatikan, pada dinding masjid ini detailnya dibentuk tulisan kaligrafi dengan kalimat As-Syahadah.

Pada saat azan maghrib menggema sampai malam hari, cahaya yang terang dari dalam masjid akan memancar keluar. Ini seolah sebagai ajakan memanggil umat untuk beribadah. Masjid ini cukup luas karena berdiri di atas lahan seluas 1 hektar serta mampu menampung 1.500 jemaah.

Di dalam masjid, Anda akan menemukan ketenangan dan kenyamanan beribadah karena konsepnya dipadukan dengan balutan alam. Seperti arah kiblat yang dibuat terbuka dengan alam, kemudian dinding-dinding masjid dengan ruang keluar masuk udara, juga batu-batu alam di pinggir ruang dalam masjid.

Masjid Al-Irsyad juga memegang predikat sebagai satu dari lima bangunan terbaik tahun 2010 (Building of The Year), menyisihkan pesaingnya dari berbagai negara. Begitu diresmikan pada bulan Agustus 2010, bangunan masjid yang memadukan unsur lingkungan dan semangat Islami langsung memenangkan hati banyak pihak.

Desain Rumah Goyang Rumah Kokoh Aman Gempa


Mahasiswa jurusan Teknik Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan memenangkan Sayembara Desain Rumah (SDR), yang diselenggarakan oleh Tabloid Rumah bekerja sama dengan PT. Semen Gresik Tbk lewat desainnya "Rumah Goyang".

Menurut Editor in Chief Tabloid Rumah, Alois Wisnuhardana, desain Grenaldi ini diakui belum bisa diaplikasikan secara sempurna 100 persen. Namun, desain "Rumah Goyang" ini memiliki konsep desain dan material. "Dalam pemilihan materialnya adalah yang ringan, yang memang diyakini pemilihan material bangunan yang berat menjadi pembunuh ketika gempa itu terjadi," kata Wisnu saat ditemui Kompas.com pada pekan lalu.

Wisnu menambahkan, desain Rumah Goyang apabila dilacak ke belakang merunut pada bangunan-bangunan rumah warisan nenek moyang yang tahan gempa. "Sebagai inspirasi konsep ini selesai dan akan dibukukan. Konsep ini terbuka untuk dimodifikasi dan dikembangkan lebih lanjut," ujarnya.

Bagaimana Desain Rumah Goyang ini mampu memukau juri, mari kita lihat:

Grenaldi mengkonsepkan tiga elemen yang dikenal dalam arsitektur yakni kaki (pondasi), badan (dinding), dan kepala (atap) ikut bergoyang saat gempa datang. "Ketika terjadi gempa, elemen-elemen ini akan ikut bergerak sehingga meminimalkan kerusakan," ujarnya.

Pada bagian kaki sebagai pondasi, konsep pondasi goyang diwujudkan dengan memadukan pondasi beton, tumpukan karet ban, dudukan plat besi, dan kolom besi. Lalu pada bagian badan sebagai dinding, konsep dinding goyang memadukan dinding kayu, besi penggantung, dan balok beton. Lalu pada bagian kepala sebagai atap, konsep atap goyang memadukan kolom beton, dudukan besi, dan kuda-kuda kayu.

Belajar tentang Lokalitas dari Arsitek Kenamaan Jepang Kengo Kuma

Kengo Kuma, Arsitek jepang
Bagi para arsitek, nama Kengo Kuma tentu sudah tak asing lagi. Arsitek Jepang yang berpengalaman lebih dari 10 tahun ini membagi wawasannya melalui kuliah umum, yang diselenggarakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Senin (17/1/2011).

Jika Anda mencari nama Kengo Kuma di mesin pencari, seperti Google, Anda akan menemukan banyak artikel yang mengaitkan namanya dengan gaya arsitektur yang natural, berkelanjutan (sustainable), dan satu hal lagi, kata lokal. Pada kunjungannya kali ini, untuk memberikan kuliah umum, tak salah jika ia bercerita seputar tema "Lokalitas".

Dari sekian banyak karya yang dipresentasikannya, ada beberapa poin yang bisa disimpulkan. Pertama, Kengo Kuma tidak pernah menebang pohon atau tumbuhan yang ada di sekitar lahan di mana bangunan akan dibangun.

Kedua, ia selalu memerhatikan lingkungan sekeliling lahan, sejarah, bangunan lama, keadaan alam, iklim, dan sebagainya, yang menurut Kuma, sangat berpengaruh pada karya arsitektur yang akan dibuatnya. Ketiga, ia selalu menggunakan material lokal, yang diproduksi paling dekat dengan lokasi pembangunan, kalau perlu tanpa menggunakan transportasi atau pengangkutan sama sekali.

Menurutnya, seorang arsitek tidak bisa hanya ingin mewujudkan kreativitas. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mempelajari lingkungan, ia mengambil istilah "berteman" dengan lingkungan sekitar. Setelah itu barulah membuat desain yang sesuai dengan lingkungan, yang sudah menjadi "teman" kita. Konsep seperti ini, menurutnya, akan membuat bangunan menjadi bagian menyatu dengan lingkungan.

SESUAIKAN WARNA CAHAYA DENGAN INTERIOR RUMAH


Saat bicara soal warna cahaya, pilihannya hanya dua, kuning atau putih. Ternyata memilih di antara pilihan yang hanya dua pun perlu pertimbangan matang.

Mungkin sebagian dari Anda pernah mendengar ungkapan bahwa cahaya kuning memberi kesan hangat, sedangkan cahaya berwarna putih memberikan kesan dingin. Lantas banyak orang yang menyimpulkan, karena Indonesia adalah negara tropis yang beriklim hangat, maka rumah-rumahnya lebih cocok dengan cahaya berwarna putih. Tidak bisa dikatakan sepenuhnya salah, tapi bukan berarti bisa disimpulkan semudah itu.

Arsitek lighting dari Lumina Architectural Lighting Consultant, Abdi Ahsan, mengatakan pemilihan warna cahaya ditentukan oleh beberapa faktor.

1. Penataan interior rumah. "Kalau rumahnya di dominasi oleh warna-warna hangat, seperti cokelat, cahaya kuning tentu akan lebih cocok," ujarnya menjelaskan. Sebaliknya jika interior rumah didominasi warna putih atau warna-warna cerah, lanjut Abdi, tentu akan lebih pas jika cahaya berwarna putih yang diaplikasikan di sana.

2. Atmosfer yang ingin ditampilkan. Hal ini berkaitan dengan tatanan interior juga. Suasana yang lebih hangat dan akrab bisa didapat dengan cahaya berwarna kekuningan. cahaya berwarna putih lebih berkesan terang, ceria, dan bersemangat.

Kedua poin di atas harus menjadi pertimbangan secara bersamaan, tidak bisa hanya mempertimbangkan salah satu poin saja. Jika Anda memang menyukai kesan hangat dan akrab, maka penataan interiornya pun pasti akan disesuaikan, begitu pula dengan pencahayaannya.


RUMAH GAYA AMERIKA ADA DI INDONESIA



Saat melihat foto ini, tak akan heran jika Anda teringat pada rumah-rumah bergaya Amerika atau Eropa. Memang inspirasinya dari sana. Model rumah seperti yang Anda lihat di foto ini, bergaya Victorian , banyak ditemui di Amerika. Ciri khasnya adalah loteng dan jendela teluk (bay window ). Material yang digunakan biasanya kayu, tapi tak jarang juga yang sekarang membuatnya dengan dindin bata, kemudian melapisinya dengan kayu. Tertarik? 

Rumah seperti ini memang tampaknya klasik dan nyaman sekali. Mereka yang menyukai gaya oldies atau jadul, rasanya tepat memilih rumah bergaya seperti ini. Bayangkan duduk di teras panggungnya, dengan kursi goyang, koran, pipa, ditemani pula dengan secangkir teh hangat. Sempurna! 

Teras di rumah yang Anda lihat ini juga berteras panggung dengan pagar jalusi, dari kayu. Ya, seluruh rumah ini memang berlapis kayu. Makin kental terasa, kan , ala Amerikanya? 

Meskipun terkesan kebarat-baratan, tak ada salahnya, kok, mengadaptasi gaya Barat ke negeri kita. Malah, dengan demikian makin terbuka celah kita untuk "bermain-main" dengan gaya. Misalnya, rumah boleh bergaya Victorian , tapi perabot dan aksesorinya asli lokal, dong . Anda boleh menempatkan lonceng sapi, misalnya, di pintu depan. Boleh juga jadikan lampu bergaya lampu andong, sebagai penerang eksterior. 

Banyak cara memadukan timur dan barat. Tidak perlu memilih salah satunya. Makin bervariasi, makin tertantanglah kita untuk memadukannya. Anda juga mau punya rumah bergaya Victorian Amerika? Boleh saja!