Akibat terdiri dari beragam suku dengan budaya yang berbeda-beda, hingga kini Indonesia belum memiliki satu karya arsitektur— sebagai salah satu produk budaya—yang disepakati secara nasional sebagai ciri bangsa. Kendalanya karena faktor yang menjadi acuannya kontradiktif.
Adhi Moersid, pakar arsitektur dari Ikatan Arsitek Indonesia, melontarkan masalah itu dalam diskusi bertema ”Crossing Bridges: The Work of the Architect in Contemporary Multicultural Society” di Institut Kebudayaan Italia di Jakarta, Selasa (2/3) malam. Tampil dalam acara itu Marco Kusumawijaya dari Institut Kesenian Jakarta dan arsitek dari Italia, Avio Mattiozzi, yang mempresentasikan karya arsitek kenamaan Paolo Portoghesi berupa masjid di Roma.
Dalam penciptaan karya arsitektur, ujar Adhi, seorang arsitek bukan sekadar mengacu pada kondisi geografis dan lingkungan setempat, tetapi juga berdasarkan akar budaya, adat istiadat, bahkan religi yang dianut masyarakatnya. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya menetapkan arsitektur sebagai ciri khas bangsa Indonesia yang diakui dalam skala nasional.
Sebaliknya, produk arsitektur yang mengacu pada kondisi lingkungan Indonesia yang beriklim tropis basah tidak menjadi masalah atau bisa diterima umum.
Dua pendekatan
Menurut Adhi, dalam menciptakan desain arsitektur untuk sebuah bangunan, setidaknya perlu berpegang pada dua pendekatan. Pertama, yaitu becermin pada khazanah ilmu arsitektur yang sudah dimiliki. Selain itu, arsitek perlu menimba makna falsafah, adat istiadat, dan komponen arsitektur tradisional yang dianut pengguna bangunan.
Ia mengambil contoh proses perancangan arsitektur yang dilakukannya untuk sebuah Gereja Huria Kristen Batak Protestan di Tebet. Dalam pencarian bentuk arsitektur bagi gereja itu, komunitas gereja diikutsertakan. Selain itu, bentuk rumah adat Batak juga menjadi acuannya, ”Yang menjadi titik tolak dan ciri khas gereja ini adalah atap dan ekspose strukturnya yang jelas,” ujar Adhi.
Selain membangun gereja, dengan pendekatan yang sama, Adhi juga membangun masjid. Salah satu arsitektur masjid karyanya pada 1972 memenangi Aga Khan Award.
Globalisasi arsitektur
Sementara itu, menurut Marco, dalam era globalisasi ini seorang arsitek hendaknya dapat memasukkan nilai universal dan menyatukan banyak kultur dalam karyanya, termasuk arsitektur lokal.
Dalam kenyataannya, arsitek di Indonesia dalam penciptaan karyanya banyak terpengaruh pada unsur asing. Hal ini tidak terhindarkan.
Fenomena yang sama juga terjadi di negara lain. Portoghesi dalam penciptaan masjid di pusat kota Roma yang merupakan pusat agama Katolik ,menurut Avio, juga memasukkan banyak unsur arsitektur asing di samping lokal.
Portoghesi, dosen di Universitas Roma, memenangi sayembara arsitektur masjid di Roma pada tahun 1974. Selama empat tahun ia mempelajari arsitektur masjid di Sudan, Turki, Mesir, dan Tunisia.
Konsep masjid yang diambilnya, antara lain pencahayaan alami, lengkungan saling silang, dan pilar-pilar yang menggambarkan hutan Magribi. Selain itu, juga digunakan lingkaran konsentris yang menggambarkan kosmologi tujuh langit.
Unsur lokal
Selain memadukan konsep masjid dari sejumlah negara, Portoghesi juga memasukkan unsur arsitektur Italia atau Roma.
”Yang membedakan Masjid Roma dengan mesjid umumnya di negara Arab adalah fungsi menara. Menara digunakan untuk mengumandangkan azan. Namun, di Masjid Roma, menara merupakan kelengkapan bangunan tersebut. Untuk mengetahui waktu shalat penduduk cukup melihatnya di papan pengumuman atau melalui akses di internet,” ujar Avio.
Modifikasi ini, menurut Adhi, dimungkinkan sebagai upaya adaptasi dengan tradisi masyarakat setempat. Hal inilah yang membuat keberadaan Masjid Roma diterima dalam komunitas masyarakat Roma yang mayoritas beragama Katolik.
Pembangunan masjid tanpa menara, lanjut Adhi, juga dimungkinkan dengan melihat sejarah keberadaan menara itu pada masa lalu. Karena itu, larangan pembangunan menara di Swiss tidak akan menghalangi pembangunan masjid sendiri.
Adhi Moersid, pakar arsitektur dari Ikatan Arsitek Indonesia, melontarkan masalah itu dalam diskusi bertema ”Crossing Bridges: The Work of the Architect in Contemporary Multicultural Society” di Institut Kebudayaan Italia di Jakarta, Selasa (2/3) malam. Tampil dalam acara itu Marco Kusumawijaya dari Institut Kesenian Jakarta dan arsitek dari Italia, Avio Mattiozzi, yang mempresentasikan karya arsitek kenamaan Paolo Portoghesi berupa masjid di Roma.
Dalam penciptaan karya arsitektur, ujar Adhi, seorang arsitek bukan sekadar mengacu pada kondisi geografis dan lingkungan setempat, tetapi juga berdasarkan akar budaya, adat istiadat, bahkan religi yang dianut masyarakatnya. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya menetapkan arsitektur sebagai ciri khas bangsa Indonesia yang diakui dalam skala nasional.
Sebaliknya, produk arsitektur yang mengacu pada kondisi lingkungan Indonesia yang beriklim tropis basah tidak menjadi masalah atau bisa diterima umum.
Dua pendekatan
Menurut Adhi, dalam menciptakan desain arsitektur untuk sebuah bangunan, setidaknya perlu berpegang pada dua pendekatan. Pertama, yaitu becermin pada khazanah ilmu arsitektur yang sudah dimiliki. Selain itu, arsitek perlu menimba makna falsafah, adat istiadat, dan komponen arsitektur tradisional yang dianut pengguna bangunan.
Ia mengambil contoh proses perancangan arsitektur yang dilakukannya untuk sebuah Gereja Huria Kristen Batak Protestan di Tebet. Dalam pencarian bentuk arsitektur bagi gereja itu, komunitas gereja diikutsertakan. Selain itu, bentuk rumah adat Batak juga menjadi acuannya, ”Yang menjadi titik tolak dan ciri khas gereja ini adalah atap dan ekspose strukturnya yang jelas,” ujar Adhi.
Selain membangun gereja, dengan pendekatan yang sama, Adhi juga membangun masjid. Salah satu arsitektur masjid karyanya pada 1972 memenangi Aga Khan Award.
Globalisasi arsitektur
Sementara itu, menurut Marco, dalam era globalisasi ini seorang arsitek hendaknya dapat memasukkan nilai universal dan menyatukan banyak kultur dalam karyanya, termasuk arsitektur lokal.
Dalam kenyataannya, arsitek di Indonesia dalam penciptaan karyanya banyak terpengaruh pada unsur asing. Hal ini tidak terhindarkan.
Fenomena yang sama juga terjadi di negara lain. Portoghesi dalam penciptaan masjid di pusat kota Roma yang merupakan pusat agama Katolik ,menurut Avio, juga memasukkan banyak unsur arsitektur asing di samping lokal.
Portoghesi, dosen di Universitas Roma, memenangi sayembara arsitektur masjid di Roma pada tahun 1974. Selama empat tahun ia mempelajari arsitektur masjid di Sudan, Turki, Mesir, dan Tunisia.
Konsep masjid yang diambilnya, antara lain pencahayaan alami, lengkungan saling silang, dan pilar-pilar yang menggambarkan hutan Magribi. Selain itu, juga digunakan lingkaran konsentris yang menggambarkan kosmologi tujuh langit.
Unsur lokal
Selain memadukan konsep masjid dari sejumlah negara, Portoghesi juga memasukkan unsur arsitektur Italia atau Roma.
”Yang membedakan Masjid Roma dengan mesjid umumnya di negara Arab adalah fungsi menara. Menara digunakan untuk mengumandangkan azan. Namun, di Masjid Roma, menara merupakan kelengkapan bangunan tersebut. Untuk mengetahui waktu shalat penduduk cukup melihatnya di papan pengumuman atau melalui akses di internet,” ujar Avio.
Modifikasi ini, menurut Adhi, dimungkinkan sebagai upaya adaptasi dengan tradisi masyarakat setempat. Hal inilah yang membuat keberadaan Masjid Roma diterima dalam komunitas masyarakat Roma yang mayoritas beragama Katolik.
Pembangunan masjid tanpa menara, lanjut Adhi, juga dimungkinkan dengan melihat sejarah keberadaan menara itu pada masa lalu. Karena itu, larangan pembangunan menara di Swiss tidak akan menghalangi pembangunan masjid sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar